SALAM SUKSES LUAR BIASA

Friday, June 15, 2007

Majlis Taqnin, Tanfidz, Qadla

PENGANTAR


Secara tegas Al-Qur’an menggunakan ungkapan ulu al-amr untuk konsep pemegang dan pengendali kekuasaan politik. Meskipun begitu para ulama tidak sependapat mengenai konsep yang dimaksud karena terpengaruh oleh perkembangan dan pemikiran politik pada zamannya.

Pemerintah sebagai salah satu struktur dasar sistem politik merupakn lembaga yang menyelenggarakan mekanisme politik atau roda pemerintahan yang dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut “wali” atau “amir” atau dengan istilah lainnya yang dikenal dalam kepustakaan politik dan ketatanegaraan İslam. Sejalan dengan tugas yang di emban, wali menggunakan kekuasaan politik yang dimilikinya berdasarkan prinsip pemusatan kekuasaan dan pertanggungjawaban dalam dirinya dan prinsip delegasi kekuasaan. Oleh karena itu dalam menyelenggarakan pemerintahan kekuasaan, wali adalah kepala pemerintahan. İa memegang kekuasaan politik dan bertanggung jawab sepenuhnya atas penggunaan kekuasaan tersebut. Meskipun demikian, ia tidak dap bertindak sendiri tanpa bermusyawarah dengan lembaga-lembaga yang terkait. Adanya lembaga-lembaga pemerintahan itu bukan saja karena kewajiban bermusyawarah, tetapi juga karena secara individual wali tidak akan mampu menangani urusan-urusan pemerintahan. Untuk itu ia memerlukan pembantu-pembantu dan secara bersama mereka merupakan sebuah badan penyelenggara tugas-tugas pemerintahan.



PENDAHULUAN



Dalam negara menurut Islam, kepribadian individu adalah jelas. İa tidak menghancurkan negara. Tetapi sebaliknya memelihara, membantu dan berbuat untuk kelestarian dan kebaikannya, sebagaimana negara berbuat demi sehat dan lestarinya kepribadian individu, karena kebaikan dan kelestarian yang satu sangatlah penting bagi yang lainnya. Tidak bakal ada pertentangan atau kontradiksi di antara keduanya dan tidak bakal ada kemaslahatan bagi yang satu dalam memusuhi atau menantang yang lain, hanya sekedar permusuhan atau pertentangan itu sendiri. Memang, kadang-kadang hal tersebut terjadi juga manakala salah satu dari kedua fihak menyimpang dari jalam Islam yang mereka anut.

Atas dasar ini semua, di dalam negara Islam, individu sepenuhnya menikmati hak-hak yang telah ditetapkan Islam baginya, karena setiap yang ditetapkan Islam, ditetapkan pula oleh negara. Dan sesungguhnya, kepemilikan individu atas hak-haknya, merupakan jaminan yang paling besar, bagi tetap kuatnya negara, tetap berbangun sehat dan mampu merealisir tujuan-tujuannya. Oleh karena itu, sesungguhnya negara sangat menginginkan agar semua individu menikmati hak-hak mereka. Tak ada kebaikan sama sekali bagi negara dalam perampasan hak ini, karena negara berdiri untuk memungkinkan semua individu hidup keIslaman. Salah satu faktor terpenting yang memungkinkan hal itu adalah harus adanya lembaga-lembaga yang bisa membantu memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Dalam hal ini ada tiga lembaga penting yang bisa mewakili hak individu-individu tersebut, yaitu: Majlis Taqnin (Lembaga Legeslatif), Majlis Tanfidz (Lembaga Eksekutif), Majlis Qadla (Lembaga Yudikatif). Berikut pembahasan dari masing-masing lembaga tersebut.


I. MAJELIS TAQNIN (lembaga legeslatif)


Majlis Taqnin merupakan merupakan lembaga yang berdasarkan triminologi fiqh disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahl al-hall wa al-‘aqd). Cukup jelas bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekalipun konsensus rakyat menuntunnya. Baru saja saya membeberkan perintah Al-Qur’an yang mengatur bahwa jika Allah dan/atau Rasul-Nya telah memberi peraturan didalam suatu masalah, tak seorang Muslim pun berhak untuk memutuskannya sesuai dengan pendapatnya sendiri dan bahwa orang-orang yang tidak membuat keputusan berdasarkan Al-Qur’an atau Kalam Ilahi ini adalah orang-orang kafir.[1] Dari perintah-perintah ini, maka secara otomatis timbul prinsip bahwa Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) dalam negara Islam sama sekali tidak berhak membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan-tuntunan Tuhan dan Rasul-Nya, dan semua cabang legislasi, meskipun telah disahkan oleh Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) harus secara ipso facto dianggap ultra vires dari undang-undang Dasar. Padahal sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa syariat itu sendiri tidak menjelaskan secara detail untuk semua kebutuhan yang begitu banyak dan berubah-ubah dari kehidupan sosial kita.[2]

Jika hai ini kita kaitkan dengan pemerintahan kita saat ini maka yang memiliki kewenangan dalam masalah di atas adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Lemabaga ini adalah lembaga yang mengurusi Undang-Undang dan hukum yang relevan dengan situasi untuk kemaslahatan hidup manusia dan sekaligus mengawasi pelaksanaan hukum tersebut. Sedangkan dalam sebuah negara Islam yang berwenang dalam hal ini adalah Majlis Tanfidz, yang mana di dalamnya di duduki oleh para mujtahid dan ulama fatwa. Dalam masalah ini kewenangannya tidak lepas dari dua perkara, yaitu : satu, jika perkara yang dinisbatkan ada nasnya, maka tugas mereka adalah memahami nas dan menjelaskan hukum yang ditunjukkannya; dua, jika suatu perkara tidak ada nasnya, maka tugas mereka adalah menganalogikan dengan perkara yang ada nasnya, dan mengistinbatkan hukum dengan jalan ijtihad serta mencari sebab dan menelitinya. Hal ini dikarenakan dalam pemerintahan Islam mempunyai undang-undang pokok dari Tuhan yang disyariatkan Allah SWT didalam Al-Qur’an dan Hadis. Maka apabila di dalam suatu undang-undang terdapat nas, maka wajib diikuti. Dan tugas para ulama adalah membahas dan mengetahui hukum yang dimaksud oleh isi kandungan nas tersebut, sehingga aplikasi hukum menjadi benar. Apabila didalam suatu unadang-undang tidak ada nas, maka para Mujthid (ahli hukum) tersebut harus berijtihad dan beristinbat hal ini sebagai dasar undang-undang. Selanjutnya para Mujtahid tersebut tinggal menetapkan hukum terhadap perkara yang ada nasnya.

Setiap pemerintahan Islam Pada setiap masa pasti membutuhkan segolongan Ulama’ ahli ijtihad yang memenuhi syarat dan berkemampuan sempurna dalam memahami nas dasar undang-undang Tuhan dan peranannya. Selain itu harus pula menguasai ketetapan hukum terhadap masalah dan persoalan baru yang muncul tentang kemaslahatan dan kebutuhan manusia.[3]

Dari sini mungkin muncul sebuah pertanyaan: Apakah hanya itu saja urusan dalam negara Islam? Jawabannya adalah bahwa dibalik batasan ini, Majlis Taqnin (lembaga legislatif) dalam suatu negara Islam memiliki sejumlah fungsi yang harus dilakukan, yaitu:

  1. Jika terdapat pedoman-pedoman yang jelas dari Tuhan dan Rasul-Nya., meskipun legeslatif tidak dapat mengubah atau menggantinya, namun demikian dalam hal ini hanya legeslatiflah yang lebih berkompoten untuk menegakkannya dalam susunan dan bentuk pasal demi pasal, dengan menggunakan defenisi-defenisi yang relevan serta rincian-rinciannya, juga menciptakan peraturan-peraturan dan undang-undang untuk mengundangkannya.
  2. Jika pedoman-pedoman dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah mempunyai kemungkinan interpretasi lebih dari satu, maka legeslatiflah yang berhak memutuskan penafsiran mana yang harus ditempatkan dalam kitab Undang-undang dasar. Untuk tujuan ini tidak ada tawar menawar lagi yang mana bahwa Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) harus beranggotakan kumpulan orang-orang terpelajar yang memiliki kemampuan serta kapasitas untuk menafsirkan perintah-perintah Al-Qur’an dan dalam memberikan berbagai keputusan tidak akan melepaskan diri dari jiwa atau isi syari’ah itu sendiri. Pada dasarnya, harus di akui bahwa untuk tujuan perundang-undangan, suatu lembaga legeslatif (Majlis Taqnin) harus memiliki kewenangan untuk memberikan fatwa mengenai penafsiran mana yang harus lebih dipilih dan untuk menegakkan penafsiran yang dipilihnya sebagai hukum, kecuali bahwa penafsiran itu hanya satu dan bukan merupakan pelanggaran atau penyimpangan semu dari hukum itu sendiri.
  3. Jika tidak ada isyarat yang jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, fungsi Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) ini adalah untuk menegakkan hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah yang sama, tentunya dengan selalu menjaga jiwa hukum Islam. Dan jika sudah ada hukum-hukum dalam bidang yang sama yang telah tercantum dalam kitab-kitab fiqh, maka dia bertugas untuk menganut salah satu di antaranya.
  4. Jika dan dalam masalah apapun Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak memberikan pedoman yang sifatnya dasar sekalipun, atau masalah ini juga tidak ada dalam konvensi Al-Khulafa Al-Rasyidin, maka kita harus mengartikan bahwa Tuhan telah membiarkan kita bebas melakukan legislasi mengenai masalah ini menurut apa yang terbaik. Oleh karenanya, dalam kasus semacam ini Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) dapat merumuskan hukum tanpa batasan, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat Syari’ah prinsip yang menyatakan bahwa apapun yang tidak diharamkan itu halal hukumnya.

Kita telah menggali empat fungsi ini dari Al-Qur’an, As-Sunnah, konvensi empat khalifah dan pandangan-pandangan para fuqaha Islam terkemuka. Tetapi jika perlu, saya dapat mengutip sumber-sumber keempatnya. Tetapi saya kira, siapapun yang sepenuhnya yang menghayati prinsip-prinsip dasar Negara Islam akan dapat menyadarinya hanya melalui akal sehat, bahwa didalam negara İslam yang sifatnya demikian, harus membentuk fungsi dari Majlis Taqnin (lembaga legeslatif).

Pada tahap ini mungkin timbul pertanyaan, apakah dalam İslam ada peluang bagi yudikatif (majlis qadla) untuk menolak atau membatasi kekuasaan legeslatif (majlis taqnin) dalam hubungannya dengan penegakan hukum yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah? Saya tau bahwa tidak ada aturan tersendiri untuk pertanyaan ini, tetapi konvensi-konvensi yang ditegakkan selama berkuasanya Al-Khulafa Al-Rasyidun menunjukkan bahwa lembaga yudikatif (majlis Qadla) tidak memiliki atau menikmati kekuasaan semacam ini pada zamannya. Paling tidak, tidak ada contoh bahwa pernah seorang qadhi melakukan hal ini. Namun yang menjadi alasan disini adalah bahwa para anggota legeslatif (majlis taqnin) pada zamannya memiliki wawasan yang dalam serta berbobot dan benar didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, jadi bisa dikatakan bahwa mereka sama sekali tidak ada kemungkinan akan terjadi legeslasi yang bertentangan dengan jiwa Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan dewasa ini, jika kita dapat menjamin bahwa tidak akan ada lembaga legeslatif (majlis taqnin) yang akan menegakkan hukum-hukum yang bertentangan dengan semangat Al-Qur’an dan Sunnah, dalam hal ini lembaga yudikatif (majlis qadla) tidak membutuhkan otoritas untuk menolak keputusan-keputusan legeslatif. Tetapi jika tidak demikian jadinya, maka satu-satunya cara yang memuaskan adalah memberi kekuasaan kepada lembaga yudikatif (majlis qadla) untuk membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.


II. MAJELIS TANFIDZ (lembaga eksekutif)



Dalam suatu Negara İslam, tujuan sebenarnya dari Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) adalah untuk menjalankan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karakteristik Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) suatu negara Muslim inilah yang membedakannya dari lembaga eksekutif negara non-Muslim. Kata-kata ulul amri dan umara digunakan masing-masing didalam Al-Qur’an dan Hadis untuk menyatakan Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif).[4] Dalam hal ini zhul Amir adalah sebagai kepala dalam Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) ini. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Amir itu harus mempunyai kekuasaan yang luas dalam majlis ini. Kepala Majlis Tanfidz ini di beri kuasa untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat umum, akan tetapi dalam hal urusan Administarasi negara kepala Majlis Tanfidz tidak diperkenankan untuk ikut terlibat di dalamnya, karena kepala Majlis Tanfidz wewenangnya hanya sebatas kepala majlis saja. Jika sekiranya semua kekuasaan ada ditangannya atau kepala pemerintahan dikendalikan juga olehnya maka bagaimana kemudian jika ada masalah dalam negara apakah semua masalah dalam negara tersebut akan di serahkan semua kepadanya. Ataukah ia menyelesaikan masalah tersebut dengan cara mencari kawan, ataukah juga ia meminta bantuan kepada para anggota yang mewakili partai-partai terkemuka yang duduk dalam lembaga legeslatif dan menggantungkan segala tindakannya kepada partai-partai tersebut.[5]

Maka dalam rangka meringankan beban tersebut, seorang Amair harus menyerahkan sebagian tugas negara kepada para pejabat pemerintah dalam hal ini para pejabat pemerintahan bekerja langsung di bawah Amir. Namun jika dalam perjalanannya/keputusannya nanti terdapat kelalaian seorang Amir tidak dapat begitu saja memberhentikan atau mempengaruhi keputusan-keputusan mereka, sekalipun kapasitasnya sebagai Amir (kepala negara) atau pribadinya. Jika kemudia seseorang mengajukan dakwaan kepada amir, maka sang amir harus hadir dan melakukan pembelaan di hadapan qadhi sebagaimana layaknya orang kebanyakan . Dalam masalah di atas kita belum pernah menemukan satu contoh pun dimana seseorang sekaligus merangkap jabatan di bidang yang sama; atau dimana kolektor atau gubernur atau bahkan seorang Amir mengikuti keputusan kehakiman. Jadi tidak seorang pun, tidak juga orang pertama negara, yang dikecualikan dari kewajiban untuk tampil di depan hakim untuk membela perkara perdata atau pidananya.

Berdasarkan tuntutan-tuntutan kebutuhan kita yang ada sekarang ini, maka kita dapat mengubah atau mengganti rincian-rinciannya. Tetapi kita harus tetap mempertahankan prinsip-prinsip fundamentalnya. Umpamanya, kita dapat mempertimbangkan kembali kekuasaan Amir (kepala negara) dan mengubahnya sesuai dengan kebutuhan. Banyak bukti bahwa di zaman sekarang ini, kita tidak dapat banyak berharap untuk mendapatkan atau menemukan seorang Amir yang kaliber dan standar ruhaniahnya menyamai Al-Khulafa Al-Rasyidun. Oleh karena itu kita dapat mempertimbangkan serta membatasi kekuasaan-kekuasaan administratif mereka untuk tetap melindungi diri terhadap kecendrungan-kecendrungan kediktatoran. Kita juga bisa membatasi dia untuk tidak mendengar serta memutuskan perkara hukum, sehingga mereka tidak memiliki peluang untuk merusak jalannya pengadilan.

Dengan demikian, kita juga dibolehkan membuat beberapa perubahan, misalnya untuk:

  1. memperbaharui undang-undang atau peraturan agar selaras dengan kebutuhan kita sekarang untuk pelaksanaan pemilihan Amir (kepala negara). Atau juga mengundangkan undang-undang untuk melaksanakan urusan legeslatif.
  2. menjelaskan dan menetapkan kekuasaan-kekuasaan serta status berbagai pengadilan.[6]

Sebagai Rakyat tentunya apapun keputusan Amir harus di patuhi, hal ini berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, kaum Muslimin diperintahkan untuk menaatinya dengan syarat bahwa Tanfidz (eksekutif) ini menaati Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dosa dan pelanggaran alias tidak melakukan maksiat.

Pernyataan Al-Qur’an berikut ini sudah sangat jelas:

...Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS Al-Kahfi: 28)

Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas.Yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan". (QS Asy Syu'araa': 151-152)

Demikian juga Rasulullah Bersabda ; Dalam hadits riwayat Ubadah Ibnu Shamit disebutkan:

Dan hendaknya kami tidak menentang kekuasaan penguasa kecuali, ‘Apabila kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah SWT.

Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim].



III. MAJELIS QADLA (Lembaga Yudikatif)



Ruang lingkup Majlis Qadla (Lembaga Yudikatif) yang dalam terminologi hukum Islam dikenal dengan istilah qadla yang maknanya disiratkan oleh pengakuan atas kedaulatan de jur dari Tuhan Yang Maha kuasa. Ketika Islam mendirikan negaranya sesuai dengan prinsip-prinsip abadinya, Rasulullah saw sendirilah yang menjadi hakim pertama negara tersebut, dan beliau melaksanakan fungsi ini dengan sangat selaras dengan hukum Tuhan. Orang-orang yang melanjutkannya tidak memiliki alternatif lain kecuali mendasarkan keputusan mereka pada hukum Tuhan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw kepada mereka.
[7]

Mengenai Majlis Qadha (Lembaga Yudikatif) ulama banyak berbeda pendapat utamanya mengenai syariah yang tidak menerangkan secara detail salah satu sistem pengadilan, namun dalam syariah itu sendiri hanya memberikan batasan pada undang-undang pokok secara umum yang menyangkut susila pengadilan (termasuk cara dimana hakim harus bertindak). Adapun undang-undang dari pengadilan, yaitu dapat dikatakan bahwa susunan dan sistem pembinaannya diserahkan saja kepada keinginan masyarakat, dengan kata lain diserahkan kepada ijtihad pada masa itu. Oleh karena itu nyatalah bahwa konstitusi bebas untuk membuat sistem apa saja terhadap pengadilan yang dapat mendatangkan maslahah pada zaman itu dengan syarat hukum itu diatur sesui dengan dasar syari’at. Namun sekiranya jika syari’at itu benar-benar akan dijadikan Undang-Undang Umum, misalnya negara kita harus menjadi negara Islam maka sudah seharus tiap hakim sudah menjadi hakim syara’ artinya ia tidak hanya menguasai Undang-undang yang telah ditetapkan oleh Majlis Taqnin (legeslatif) tetapi juga ia harus menguasai semua peraturan yang telah ditetapkan oleh Qur’an dan Sunnah. Oleh karena semua sistem Undang-Undang harus di pengaruhi oleh prinsip syari’ah, yang dimulai dengan undang-undang yang berdasarkan aturan yang jelas yang berasal dari Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan hal-hal umum dan selanjutnya perkembangan undang-undang yang datang dari legeslatif yang semua permasalahannya tidak diterangkan oleh syari’ah.[8]

Jika Majlis Qadla kita selaraskan dengan Lembaga Yudikatif saat ini maka kemandirian Yudikatif akan menjamin perdamaian dalam negeri suatu negara dan ketentaraman rakyat. Tidak akan ada jumlah hak atau hak-hak istimewa yang tertulis dalam undang-undang, yang dapat memberikan kepuasan jika pengadilan-pengadilan ini masih di interfensi oleh yang berkuasa. Akibatnya jika ada campur tangan dari pihak yang lebih berkuasa maka sangat susah untuk mengelola keadilan dalam lembaga pengadilan tersebut. Karena esensi kebaradaan negara sangat bergantung pada kepuasan rakyatnya.

Jika kita tari pada zaman Nabi dalam urusan peradilan ini, badan pengadilan Nabi saw mengikut perintah Allah swt. Sebagaimana firman-Nya “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah (kepadamu), dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka...” (surah al Maidah ayat 49).

Sekalipun pada zaman Rasulullah SAW semua Bidang pemerintahan mulai dari kewenangan dan keputusan itu berada di tangan beliau, tetapi dalam proses penyelesaian masalah Rasulullah SAW selalu melibatkan para sahabatnya/perwakilan masyarakat, yang kemudian di selesaikan di suatu tempat melalui musyawarah. Atas dasar inilah kemudian kita mengenal konsep syura dalam Islam’.

Demikain halnya dengan masalah peradilan bertugas. Karena begitu seriusnya masalah peradilan ini, Rasulullah saw mengangkat Rasyid bin Abdullah sebagai amir untuk keperluan pengadilan dan mencegah kezaliman. Namun, kadang-kadang tugas ini dipegang sendiri oleh Rasulullah saw. Selain tugas-tugas peradilan di atas, ada “qadla al hisbah”, yang langsung mengadili pelakunya. Pada masa Rasulullah saw, Sa’id bin Al Ash bertugas di pasar Makkah sedangkan Umar bertugas di pasar Madinah. Badan pengadilan in bertugas menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara sesama masyarakat, atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak jama’ah, atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara warga masyarakat dengan pegawai pemerintah, baik Khalifah, pejabat atau pegawai lainnya.[9]

Namun pada intinya penyelenggaraan mekanisme negara dalam tatanan sistem politik pada umumnya, khususnya lembaga-lembaga negara, Al-Qur’an mengemukakan ada empat prinsip penggunaan kekuasaan politik yang dapat dipandang sebagai asas-asas pemerintahan/kekuasaan dalam sistem politik. Keempat asas tersebut adalah: (1) Asas amanah, (2) asas keadilan (keselarasan), (3) asas ketaatan (disiplin), dan (4) asas musyawarah dengan refrensi Al-Qur’an dan Sunnah.

Asas pertama mengandung makna bahwa kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah adalah amanat Allah dan juga amanat dari rakyat yang telah memberikannya melalui baiat. Karena itu, asas ini menghendaki agar pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya dengan memenuhi hak-hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum Allah., termasuk didalamnya amanat yang dibebankan oleh agama dan yang dibebankan oleh masyarakat dan juga perorangan sehingga tercapai masyarakat yang damai dan sejahtera.

Asas kedua mengandung makna bahwa pemerintah berkewajiban mengatur masyarakat dengan membuat aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak diatur secara rinci atau didiamkan oleh hukum Allah. Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan berjalan diatas hukum dam bukan atas dasar kehendak pemerintah atau pejabat negara. Adanya kreteria keadilan dalam pembuatan hukum parundang-undangan menghendaki agar hukum yang dibuat itu berorentasi kepada fitrah atau kodrat manusia.

Asas ketiga mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah ditaati. Demikian pula hukum perundang-undangan dan juga kebijakan pemerintah wajib ditaati. Kewajiban taat ini tidak hanya di bebankan kepada rakyat, tetapi juga dibebankan kepada pemerintah/pejabat. Oleh karena itu, hukum perundang-undangan dan kebijakan politik yang diambil pemerintah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Jika tidak demikian, maka kewajiban rakyat kepada hukum dan kebijakan yang bersangkutan telah gugur, karena agama melarang ketaatan pada maksiat.

Sedangkan asas keempat menghendaki agar hukum-hukum perundang-undangan dan kebijakan politik ditetapkan melalui musyawarah di antara mereka yang berhak. Masalah yang diperselisihkan di anatara para peserta musyawarah harus diselesaikan dengan menggunakan ajaran-ajaran dan cara-cara yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Untuk maksud tersebut, diperlukan rumusan metode pembinaan hukum perundang-umdangan dan tata cara atau mekanisme musyawarah yang bersumber dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. [10]

Maka jika di kaitkan dengan Tugas dan wewenang lembaga-lembaga diatas keempat asas ini sangat Relevan dan signifikan untuk di jadikan pondasi dasar pada setiap kebijakan dan keputusan yang berakhir pada realisasi/aplikasi di masyarakat. Jika demikian nyatanya saya sangat yakin Masyarakat akan hidup damai dan sejahtera di dunia dan akhirat.


KESİMPULAN



Sesuai dengan fungsi-fungsi yang diselenggarakan, lembaga-lembaga tersebur dapat dipilih atas: (1) lembaga legeslatif (majlis taqnin), (2) lembaga eksekutif (majlis tanfidz), (3) lembaga yudikatif (majlis qadla). Lembaga yang pertama mempunyai dan menjalankan kekuasaan membuat peraturan perundang-undangan berkenaan dengan masalah-masalah bukan aqidah dan ritual dan yang tidak diatur secara tegas oleh Al-Qur’an dan Sunnah; juga peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan hukum Allah. Sedangkan lembaga yang kedua mempunyai dan menjalankan kekuasan untuk menerapkan hukum Allah dan hukum perundang-undangan. Dan yang terakhir yaitu lembaga ketiga mempunyai dan menjalankan kekuasaan untuk membela hukum-hukum positif dari setiap serangan dan pelanggaran.

Adapun implementasi dari kesimpulan diatas adalah perlunya wali terpilih di baiat oleh rakyat. Al-Qur’an tidak memberikan petunjuk teknis bagaimana seorang wali atau kepala pemerintahan dipilih. Juga Rasulullah SAW tidak membicarakan atau menunjuk siapa yang akan menggantikannya dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sesudahnya. İni dipandang sebagi suatu isyarat bahwa persoalan kepemimpinan umat diserahkan agar diselesaikan sendiri oleh umat İslam melalui musyawarah. Dan cara seperti ini telah dilaksanakan oleh sahabat-sahabat Nabi dalam mengangkat Khulafa Rasyidin. Musyawarah itu sendiri masih merupakan proses pemilihan wali, sedangkan pembaiatan merupakan proses pengakuan dan legitimasi kedudukan dan kekuasaan wali.





[1] QS 5: 44

[2] Abu A’la Al-Maududi”Sistem Politik Islam” ( Bandung : Mizan, 1993), Cet II. hl. 247

[3] Abdul Wahab Khalaf”Politik Hukum Islam” ( Jogjakarta : Tiara Wacana, 2005), cet II. hl. 47-48

[4] opcit hl. 251

[5] Mohammad Asad”Masalah Kenegaraan dalam Islam” ( Jakarta : Yayasan Kesejahteraan Bersama), hl. 55

[6] lokcit hl. 250

[7] .Abdul Karim Zaidan,”Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam” Jakarta : Yayasan Al-Amin, cet I. hl. 26

[8] Muhammad Asad, lokcit hl. 65

[9] . M. Shiddiq Al Jawi , “Konsep Negara Islam Menurut Rasulullah dan Sahabat” hl. 25

[10] Abdul muin salim Lokcit. hl. 298




Refrensi

  1. Al-Qur’an Al-Karim.
  2. Muin salim, Abdul, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
  3. Al-Maududi, Abu A’la, Sistem Politik Islam, judul asli “The Islamic Law and Constitution,” penerjemah Asep Hikmat. Bandung: Mizan, 1993.
  4. Asad, Muhammad, Masalah Kenegaraan Dalam Islam, judul asli “Islamic Constitution Making. penerjemah Amirudin jamil dan Umar Amin Husin. Jakarta : Yayasan kesejahteraan umat, 1990.
  5. Wahab khalaf, Abdul, PolitikHukum Islam, Jogjakarta : Tiara Wacana, 2005
  6. Karim Zaidan, Abdul, Masalah Kenegaran Dalam Pandangan Islam, Jakarta : Yayasan Al-Amin, 1984
  7. Shiddiq Al-jawi, Muhammad, Konsep Negara Islam Menurut Rasulullah dan Sahabat. 1997


No comments: